Wednesday, December 10, 2014

Kapan adalah Pertanyaan yang Tidak Sopan

Dari dulu saya selalu penasaran dengan arti kata “sopan”. Orang-orang jaman dulu yang tua-tua selalu bilang sopan itu artinya sesuai tata krama. Saya kirain tata krama itu hanya kosa kata yang ada di benua Asia Timur, coz sepanjang pengetahuan saya cuman benua ini yang ribut masalah tata krama.

Sampai kemudian di sebuah sekolah, enam bulan yang lalu, saya belajar apa itu sebenarnya tata krama. Tata krama bukan sekedar membungkuk kalau lewat di depan orang yang umurnya lebih tua atau cowok bukain pintu supaya cewek bisa lewat duluan. Tetapi tata krama, atau dalam bahasa Inggrisnya adalah social grace, punya inti tujuan akhir yaitu menyenangkan orang lain. Tata krama tidak cuman berlaku jika berkelakuan di hadapan yang lebih tua, di hadapan lawan jenis, tapi bahkan juga berlaku jika berkelakuan di depan yang lebih muda. Iya, bahkan kita harus sopan kepada anak-anak.


Ini menjelaskan, kenapa orang muda seringkali dikira nggak sopan oleh orang tua. Setelah saya pikir-pikir, sikap orang muda yang sering kali nampak nggak sopan itu kemungkinannya dua: 1) sang muda nggak tahu bagaimana menjaga supaya sikapnya menyenangkan si tua, atau yang lebih parah lagi 2) itu hanya reaksi sang muda untuk menampakkan ketidaksukaannya kepada si tua.

Lupakan poin nomor 1) coz saya ogah membahas pengetahuan. Saya lebih tertarik poin 2), kenapa orang bisa nggak suka terhadap orang lain. Memangnya si tua itu ngapain kok sang muda sampai nggak suka terhadapnya, sehingga tidak mau menunjukkan sikap yang menyenangkan si tua, malah bersikap sebaliknya, dengan sukarela mendemonstrasikan bahasa tubuh maupun bahasa mulutnya yang jelas tidak menyenangkan si tua.

Ceritanya..
Saya punya teman yang dari dulu selalu mengeluh kenapa dia belum hamil. Lama menikahnya sama seupritnya dengan saya, tapi dia nggak hamil-hamil juga. Saya, yang sudah tahu duluan tentang probabilitas kehamilan pada usia pernikahan setahun, tenang-tenang aja. Tapi kan teman saya bukan dokter, jadi dos-q nggak setenang saya. Percuma saya menasehatinya untuk “keep calm and have sex”, coz dos-q lebih gelisah menghadapi pertanyaan masyarakat (baca: orang tua, mertua, bude-bude dan tetangga yang cerewet sok-perhatian-tapi-nggak-mau-nyawer-tebal-waktu-kondangan) tentang “kapan hamil”.

Waktu sudah mengajari saya untuk memahami arti kata “gagal” dan “rencana Tuhan”. Dulu saya juga bingung kenapa semenjak saya menghentikan alat KB saya nggak spontan hamil juga. Percuma kawan-kawan sana-sini menghibur coz saya sendiri terpaku dengan kegelisahan saya sendiri. Sampai kemudian saya hamil, lalu pelan-pelan saya mulai mengerti.

Dulu Tuhan belum kasih saya janin, karena mungkin waktunya belom pas. Waktu itu perusahaan software my hunk baru saja berdiri, dos-q masih belajar bisnis sendiri, cash flow rumah tangga belum jelas mau mengalir dari mana. Sementara saya sendiri juga baru mendirikan bisnis investasi saya, saya masih belajar. Seandainya saat itu saya langsung hamil, dilengkapi dengan suasana perut eneg plus mood swing akibat estrogen yang melonjak nggak karuan, barangkali kami nggak akan bisa menikmati bulan-bulan pertama kehamilan ini dengan baik. Padahal, waktu saya kuliah dulu, kalau emaknya stress di empat bulan pertama kehamilan, maka sel-sel saraf si janin akan ketularan neurotransmitter yang jelek-jelek, mengakibatkan waktu dia jadi orang dewasa nanti dia akan jadi pemarah.

Tuhan akhirnya kirim anak ke perut saya pada saat bisnis my hunk mulai terkendali, dan pada saat bersamaan itu saya mulai ngerti bahwa menjadi wiraswasta itu nggak boleh serakah. Dia mengijinkan kehamilan ini terjadi pada saat yang tepat.

Jadi...
Setiap orang punya saat tepatnya sendiri-sendiri, tidak sama antara satu dengan yang lain. Pada saat manusia merasa siap, belum tentu Tuhan mufakat juga dengan kesiapan manusia itu. Ini menjelaskan, kenapa orang yang sering dikira sudah siap hamil, ternyata belum hamil-hamil juga.

Mendesak orang lain untuk segera hamil, sama seperti mendesak supaya lumpur Lapindo pindah ke Gunung Bromo. Kalau Tuhan belum mengijinkan, maka sampai kiamat juga itu lumpur nggak bakalan ngalir ke Bromo. Kalau Tuhan belum mengijinkan sepasang suami-istri untuk hamil, maka sampai jungkir balik pas ML-nya pun pasangan itu nggak akan hamil juga.

Dan karena melakukan sesuatu yang cuman bisa dilakukan Tuhan itu adalah sesuatu yang percuma, alhasil mendesak orang yang melakukannya juga percuma. Malah tidak menyenangkan orang yang didesak dan hanya menciptakan percakapan basi yang tidak menyenangkan. Tidak menyenangkan = tidak sopan.

Jadi, mendesak orang yang belum hamil untuk segera hamil, adalah pertanyaan (atau lebih tepatnya suruhan) yang tidak sopan. Sialnya banyak banget orang (sok) tua yang nggak sopan begini.

Di sekolah yang sama, saya juga belajar bagaimana sebaiknya sikap kita terhadap orang yang tidak sopan begini. (Atau lebih tepatnya, bagaimana sebaiknya kita harus bersikap kepada orang tua yang nanya kapan hamil?) Bukannya kasih solusi, guru saya malah mengajari saya soal manajemen waktu. Mana yang lebih bermanfaat, menghabiskan waktu untuk kegiatan yang investatif atau kegiatan ngerumpi yang tidak menambah pengetahuan?

Saya nyaris bertanya juga, apakah kegiatan arisan keluarga yang isinya cuman bertanya-tanya kapan hamil adalah kegiatan yang investatif atau hanya sekedar ngerumpi tanpa menambah pengetahuan?

Jika kau berada dalam sebuah percakapan yang tidak menyenangkan, gantilah arah pembicaraan menjadi lebih menyenangkan.

Jika arah pembicaraan itu tidak bisa dibuat menyenangkan juga, kau perlu menghamburkan waktumu untuk kegiatan lain yang lebih berguna.

Dan itu menjelaskan kenapa orang muda jauh lebih senang mandiin kucingnya di rumah daripada menghadiri pertemuan keluarga. Setidaknya mandiin kucing akan memaksa kita berolahraga à lebih sehat, bukan sakit hati karena pertanyaan orang lain.

Saya kepingin banget bilang sama teman-saya-yang-belum-hamil-juga supaya mengganti orangtuanya, budenya, dan tetangganya dengan orang yang nggak tukang tanya-tanya kapan-hamil, tapi saya belom tega :D