Wednesday, August 12, 2015

Apotekernya ke Mana?

Suatu hari saya lagi ngantre di sebuah apotek untuk beli vitamin. Vitamin yang saya minta lagi diambilin di gudang apoteknya tatkala seorang emak berumur sebut aja sekitar 50-an dateng.
"Mbak, mau beli Sanaflu empat, Neozep empat, Decolgen empat," katanya.

Saya mengerutkan kening mendengarnya, kepo. Situ punya warung obat dan lagi kulakan ya?

Petugas apoteknya mencatet pesenan si emak. "Ada lagi, Bu?"

"Ndak, itu dulu," kata si emak. Tapi kemudian.. "Eh ya, mintak M Kapsul ya satu."

Petugas apoteknya manggut-manggut dan jalan ke gudang di balik kasir.

Di situ ada bapak-bapak yang juga lagi ngantre mau beli obat kayak saya, dan ternyata dia juga sama keponya dengan saya. Tapi dia lebih terang-terangan. "Belinya banyak bener ya, Bu? Padahal kan obatnya sama aja?" komentarnya usil . Sebetulnya ngomongnya nggak gitu, dia bertutur dalam bahasa Jawa.

Tau-tau si emak malah curhat. "Lha gimana, kayaknya musim flu ini. Anak saya cocoknya sama Sanaflu, kalo bapaknya cocoknya sama Neozep, kalo saya sih senengnya Decolgen."



Sanbe, Darya-Varia, Medifarma, saya nyebut pabrik dari masing-masing obat itu dalam hati. Kalo di rumah si emak itu ada anggota keluarga yang lain, saya taruhan si emak bakalan beli obat flu dari pabrik yang lain lagi. Tiap orang dapet obat dari satu pabrik.

Terus petugas apoteknya dateng dari gudang. Saya lirik aja bawaannya (serius deh, saya kepo banget). Bener aja. Empat strip Sanaflu, empat strip Neozep, empat strip Decolgen.

"Bu, M Kapsul-nya kosong."
"Owalaah.." si emak nampak kecewa. "Eh, kalo tetrasiklin ada? Kemaren itu aku cocok minum itu, pilekku langsung sembuh.."
"Ada, Bu. Tapi tinggal dua.."
"Ya udah, ndak papa. Aku ambil aja!"

Perut saya mules ndenger dialog nggak cerdas itu, tapi saya menggigit bibir saya rapet-rapet. Shut up, Ky. Nggak usah ikut campur urusan orang.

Akhirnya, obat saya nongol. Pas saya udah bayar, saya iseng nanya, "Bu Morgan ada?"
(Morgan bukan nama sesungguhnya.)

"Bu Morgan lagi cuti, Bu," jawab petugasnya.

Saya tersenyum kecut, lalu ngeloyor cabut. Apotekernya nggak ada. Dan ada tetrasiklin dua butir mengalir keluar dari apotek itu tanpa resep.

***

Obat itu seperti racun. Jika diminum dalam jumlah yang cukup, obat ini bisa mengakhiri penyakit. Tapi jika diminum melebihi jumlah yang seharusnya, penyakitnya malah semakin berat. Meskipun penyakitnya (katanya) cuma flu.

Tetrasiklin itu antibiotik. Diminum sedikitnya empat butir dalam sehari. Sekali minum harus diminum selama tiga hari. Bukan cuma diminum dua butir lalu berharap sakit pileknya sembuh.
Antibiotik yang diminum hari ini, hanya membunuh kuman sasarannya hari ini. Jika kuman itu kira-kira masih hadir di tubuh kita sewaktu kita jatuh sakit berikutnya, berarti antibiotik yang telah digunakan itu tidak manjur. Mengulangi antibiotik yang sama itu percuma.

Sakit pilek belum tentu butuh antibiotik. Sebagian besar penyebab pilek di Indonesia adalah virus. Virus tidak bisa dibunuh dengan antibiotik. Kenapa si emak membuang-buang duitnya untuk membeli antibiotik, padahal duitnya bisa dipake untuk beli sayur yang jelas jauh lebih berguna untuk mengobati pilek?

Tapi yang lebih penting lagi, ini apotekernya ke mana?

***

Saya nggak punya sahabat apoteker, jadi saya jarang memahami dilema pekerjaan mereka. Teman-teman saya yang orang farmasi, kebanyakan kerja jadi dosen, kerja di Kementerian Kesehatan, tapi nggak ada yang kerja patroli di apotek. Jadi saya bingung kenapa di apotek itu tercantum nama apotekernya besar-besar tapi orangnya nggak ada di tempat.

Saya kirain apoteker itu bekerja mencegah penggunaan obat yang irasional. Saya kirain mereka mengontrol supaya apotek mereka tidak ikut menjadi penyebab resistensi bakteri terhadap antibiotik. Saya kirain apoteker itu turut berusaha supaya penderita tidak sampai gagal ginjal akibat akumulasi residu obat. Atau setidaknya, saya kirain apoteker itu mengedukasi konsumen supaya mereka nggak memakai obat sembarangan.

Tapi sepertinya saya memang kurang pengetahuan tentang apa yang sesungguhnya mereka kerjakan.
Namun tentu saja saya mengerti, setiap pengusaha apotek butuh makan. Makanya, setiap butir obat yang dibeli oleh konsumen adalah rupiah buat para pemilik apotek. Iya kan? Iya kan?