Thursday, September 10, 2015

Siapa Yang Koneksi Internetnya Tercepat?

Pertanyaan ini selalu bikin saya geli. Buat saya, jawabannya nggak pernah konsisten, karena jawaban saya selalu ganti enam bulan sekali. Dan akhir-akhir ini, jadi tiga bulan sekali.

Saya pengguna internet aktif sudah lebih dari 10 tahun yang lalu. Semua operator internet telekomunikasi seluler di negeri ini pernah saya cobain. Setiap operator ternyata memberikan performa yang berbeda-beda. Ajaibnya, kinerja masing-masing operator sangat ditentukan musim, lokasi, dan lucunya, jenis paket yang dibeli penggunanya.



Pertama kali punya modem GSM di tahun 2011, saya pakai operator Tri. Ini karena menurut my hunk, koneksi Tri di Surabaya sebelah timur cukup banter. Buat saya yang waktu itu cuman pakai internet untuk cari-cari jurnal ilmiah, koneksi sebesar 300-500-an KB/menit sudah cukup.

Tapi bulan madu saya barengan Tri nggak terlalu lama. Ketika beberapa minggu koneksinya mulai melamban dan frekuensi saya memaki koneksi makin meningkat, saya nyadar bahwa Tri sudah waktunya dipecat. Maka saya pun pindah pakai Axis.

Axis sebetulnya operator yang menyenangkan. Koneksinya banter, harganya murah pula. Saya sudah gembira. Lalu dua minggu semenjak pemakaian pertama, koneksinya sering putus mendadak. Yang tadinya 300-an KB/menit mendadak jadi nol. Dan saya pun mengamuk.

Lalu saya balik ke Tri lagi. Sembari berdoa setiap hari supaya koneksinya banter. Dan saya mulai bikin terapi anger management untuk diri sendiri.

Indosat pasang tarif yang lebih mahal. Saya pakai operator ini setelah dibikin mual bolak-balik oleh Tri yang koneksinya nggak stabil. Plus saya denger-denger Axis sudah diakuisisi XL, jadi percuma juga cari kartu murah itu.

Operator Indosat yang mengusung Broom sebagai produk unggulannya ini memang banter. Bersamanya, saya pernah terbang sejauh 700 kb - 1 MB/detik. Tapi barengan Indosat ini, saya sering banget merasa kesasar bagaikan naik Malaysia Airlines: ngebut dan mendadak hilang. Serius, di tengah-tengahnya lagi ngebut gitu, tiba-tiba koneksinya putus. Siyalan.

Nggak adil dong kalau saya ngomel-ngomel tanpa menghubungi customer service? Maka saya follow-follow-an sama admin account Twitter-nya Indosat. Saban kali koneksi saya putus dadakan, saya mention atau direct message ke Twitter-nya customer service Indosat. Admin mereka sangat ramah, sungguh. Mereka rutin tanya lokasi saya di mana, dan janji akan mengecek TKP. Anehnya, saya tungguin berjam-jam, itu koneksi masih tetep aja tukang putus di jalan. Saban kali saya ngomel ulang, tetep aja adminnya nanya lokasi saya di mana, seolah-olah omelan saya sebelumnya nggak dicatet. Saya mulai mikir, percuma juga saya kasih tahu saya tinggal di jalan apa, kecamatan mana. Dikirimin cheese cake pun enggak, dibenerin koneksinya juga enggak.

Akhirnya saya pakai operator yang tarifnya paling mahal setanah air: Telkomsel. Bertahun-tahun main bersama operator berkelas tarif rendah bikin saya sempat keder ketemu Telkomsel karena terpaksa harus berpikir price versus value. Tapi saya bosan mengomel, jadi akhirnya Telkomsel pun saya pakai juga.

Koneksinya banter di rumah saya, percayalah. Tapi dengan syarat: tetangga-tetangga saya jangan pakai Telkomsel juga. Lhaa..?

Ketika suatu minggu selama dua hari berturut-turut Telkomsel hanya mampu bermain di area 60-80 kb/detik, saya mencabut kartu merah itu, melipatnya jadi dua dan saya pun pergi ke mall untuk beli XL.

XL terhitung lebih murah daripada kompetitornya dan koneksinya cukup baik. Perasaan ngebut di area 700 kb - 1 Mb/detik yang pernah saya rasakan bersama Indosat-tukang-PHP kembali saya rasakan bareng XL. Karena seneng, saya pun upgrade paket Hotrod-nya, yang semula cuman beberapa ratus MB pun menjadi 4,5 GB.

Dan malam ini, ketika saya lagi nge-download laporan keuangan perusahaan dari Bursa Efek Indonesia, koneksinya jatuh ke 30 kb/detik, sama seperti kepala saya yang terjatuh ke meja saking ngantuknya nungguin download ratusan kb yang nggak kelar-kelar.

***

Temen saya yang jadi supervisor di sebuah operator seluler BUMN pernah cerita ke saya, bagaimana kecepatan koneksi di sebuah area perumahan bisa menurun jika banyak orang memakai koneksi tersebut pada saat yang bersamaan. Jika operatornya dilapori bahwa koneksinya menurun, maka seorang teknisi akan datang ke area itu, mengutak-atik alat penguat koneksinya yang ditancapkan di daerah tersebut, supaya koneksinya banter lagi. (Di mana alat penguatnya berada? Saya nggak diceritain.) Dan itu sebabnya kenapa saban kali kita komplain ke customer service operatornya, mereka selalu nanyain alamat kita. Bukan, ternyata mereka bukan mau kirimin cheese cake.

Sayangnya alat ini cuman bisa bekerja ke satu sisi, nggak bisa ke semua sisi pada saat yang bersamaan. Jadi misalnya kalau alat ini dipasang di kelurahan Sukamaju dan diarahkan ke utara, maka area yang banter hanya sejauh sekian perimeter dari alat tersebut, di sebelah utara doang. Lha yang di sebelah barat, timur, dan selatan area tersebut, koneksinya akan tetep lemot.

Soal ini pernah jadi lelucon ketika menteri informatika dateng ke sebuah area. Merasa koneksi internetnya lelet di daerah itu, sang menteri nan terhormat pun nelfonin bossnya temen saya buat bela-belain nyuruh alat penguat koneksi itu diarahkan ke titik tempat sang menteri berada. Terpaksalah teknisi operator itu langsung tergopoh-gopoh muterin alatnya supaya sang menteri nggak nyap-nyap.

Seorang komentator di blog ini pernah ngoceh bahwa dia merasakan sendiri kalau koneksinya kartu Halo lebih kenceng ketimbang kartu Simpati. Padahal dua-duanya sesama produk Telkomsel juga. Nampak jelas kalau yang bayarnya lebih mahal diberikan koneksi yang lebih banter daripada yang bayarnya cuman seupil.

Temen saya lainnya yang jadi insinyur bagian koneksi-koneksian internet ini pernah disuruh mengelola supaya koneksinya Axis tetep banter di sebuah daerah. Menurut cerita temen saya ini, sebuah operator akan bermain di frekuensi tertentu untuk menyelenggarakan sebuah koneksi internet. Mestinya suatu jalur frekuensi cuman dihuni oleh sebuah operator aja. Sayangnya ternyata jalur ini bocor, sehingga frekuensi yang sudah di-book oleh sebuah operator pun bisa kemasukan operator lain. Ini sebabnya kenapa dulu koneksinya Axis sering jeblok, karena ada operator lain yang ikutan masuk ke jalur frekuensinya Axis.

Setelah saya dapet cerita-cerita ini, saya memutuskan untuk berhenti ngomelin admin-admin Twitter-nya customer service operator. Karena yang mestinya saya omelin itu bukan customer service-nya. Bukan para teknisinya juga. Yang mestinya saya omelin itu ya para CEO dari masing-masing operator itu, kenapa duit para customer dihamburin tapi koneksinya masih tetep dodol. (Dan seperti biasa, pasti para CEO itu akan menyalahkan menteri informatika yang bikin regulasinya nggak bener. Menteri akan menyalahkan anggota DPR, kenapa proposalnya buat perbaikin regulasi kok nggak di-ACC. Anggota DPR akan menyalahkan menteri, kenapa kalau dipanggil nggak pernah kasih informasi yang runut. Dan seterusnya. Gitu aja terus, sampai Farhat Abbas jadi presiden.)

Sebagai gantinya, saya beli satu nomer kartu SIM aja dari sebuah operator, tapi nomer ini khusus saya pakai buat internetan. Kalau kebetulan si operator ini koneksinya lagi lelet, kartunya saya amankan di tempat sampah. Lalu saya beli lagi kartu lain dari operator yang lain.

Makanya saya bisa ganti operator internet yang beda-beda tiap bulan. Supaya nggak merasa rugi, saya sengaja beli paket internetnya yang mingguan atau harian aja sekalian. Kalau pemerintah merasa gerah karena banyak nomer kartu yang hangus, mungkin karena banyak pelanggan yang tukang ganti nomer kayak saya, hahaha.

Di Seoul, koneksi internet mencapai 1-2 GB/detik. Orang bisa download film sampai belasan judul hanya dalam tempo sejam. Indonesia masih jauh dari itu. Berdoa aja dulu supaya koneksi internet di operator yang sekarang kita pakai ini, stabil dan banter. Kalau nggak bisa berdoa, cobalah ikut terapi anger management. Goosfraba. Goosfraba. That's it.
http://georgetterox.blogspot.com
http://laurentina.wordpress.com